Blogroll

Sandra Amalia

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 04 Desember 2012

Gelombang Otak Selaras Memegang Ingatan Tentang Benda yang Baru Dilihat

Selasa, 20 November 2012 - Otak mengandung ingatan tentang apa yang baru saja dilihat dengan menyelaraskan gelombang otak dalam rangkaian ingatan kerja, sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah studi hewan oleh National Institutes of Health.

Charles Gray, Ph.D., dari Montana State University, Bozeman, dari  National Institute of Mental Health (NIMH), dan koleganya melaporkan temuan ini tanggal 1 November 2012 secara online di jurnal   Science Express.
“Penelitian ini menunjukkan, untuk pertama kalinya, kalau ada informasi mengenai ingatan jangka pendek tercermin dalam gelombang otak yang selaras,” jelas Gray.
 “Masalah besar neurosains adalah memahami bagaiman dan dimana informasi disandi di otak. Studi ini memberikan lebih banyak bukti kalau osilasi listrik skala besar di sepanjang daerah-daerah otak dapat membawa informasi ingatan visual,” kata direktur NIMH   Thomas R. Insel, M.D.
Sebelum studi ini, para ilmuan telah mengamati pola selaras aktivitas listrik antara dua hub rangkaian setelah seekor monyet melihat sebuah benda, namun tidak yakin apakah sinyal ini sungguh-sunggu mewakili ingatan visual jangka pendek tersebut di otak. Saat itu, diduga kalau osilasi syaraf tersebut lebih berperan seperti polisi lalu-lintas, mengarahkan informasi sepanjang jalan raya otak.
 Untuk mengetahui lebih jauh,  Gray, Rodrigo Salazar Ph.D., dan Nick Dotson dari Montana State serta Steven Bressler, Ph.D., dari Florida Atlantic University, Boca Raton, merekam sinyal listrik dari sekelompok sel syaraf di kedua hub dari dua monyet yang melakukan tugas mengingat kerja visual. Untuk memperoleh hadiah, monyet harus mengingat sebuah benda – atau lokasinya – yang mereka lihat sebentar pada layar komputer dan mencocokkannya dengan benar. Para peneliti menduga melihat letusan keselarasan saat periode tunda segera setelah objek tersebut hilang dari layar, ketika monyet harus mempertahankan informasi tersebut sementara dalam pikirannya.
Derajat aktivitas keselarasan, atau koherensi, antar sel di daerah tersebut di plot untuk berbagai benda yang dilihat monyet.
Gelombang otak dari banyak sel syaraf di kedua hub, yaitu korteks prefrontal dan korteks parietal posterior, terselaraskan dalam berbagai derajat – tergantung identitas benda. Ini dan bukti lainnya menunjukkan kalau sel syaraf di hub ini bersifat selektif untuk fitur tertentu dalam bidang pandang dan kalau penyelarasan di rangkaian membawa informasi spesifik isi yang dapat menyumbang pada ingatan kerja visual.
 Para peneliti juga menemukan kalau korteks parietal lebih berpengaruh daripada korteks prefrontal dalam mengendalikan proses ini. Sebelumnya, banyak peneliti menduga kalau laju penembakan satu sel syaraf di korteks prefrontal, pelaksana eksekusi otak, adalah pemain utama dalam ingatan kerja.
 Karena osilasi diselaraskan antara populasi sel berbeda dari rangsangan visual, secara teori mungkin untuk menentukan jawaban yang benar untuk tugas penyesuaian yang dilakukan monyet dengan semata hanya membaca gelombang otak mereka. Begitu juga, keselarasan antara populasi sel di kedua hub juga berbeda antar lokasi. Jadi lokasi informasi visual, seperti identitas benda, juga tampak diwakilkan oleh gelombang otak selaras. Kembali, para peneliti sebelumnya menduga kalau fungsi ini sebagian besar berhubungan dengan laju penembakan sel syaraf.
 Jadi temuan baru ini dapat membalik teori yang telah ada.
Selain NIMH, penelitian ini juga didukung oleh   National Institute on Neurological Disorders and Stroke (NINDS).
Sumber berita:
Referensi jurnal:
R. F. Salazar, N. M. Dotson, S. L. Bressler, C. M. Gray. Content-Specific Fronto-Parietal Synchronization During Visual Working Memory. Science, 2012; DOI: 10.1126/science.1224000

Ilmuwan Mengungkap Hormon yang Mendorong Perilaku Sosial pada Ikan

Kamis, 11 Oktober 2012 - "Hormon ini meningkatkan kemampuan respon terhadap informasi sosial dan bisa berlaku sebagai suatu ikatan sosial yang penting."

Para peneliti telah menemukan bahwa formula oksitosin — hormon yang bertanggung jawab untuk membuat manusia menjadi jatuh cinta — memiliki persamaan efek seperti yang dimiliki ikan, menunjukkan bahwa hormon ini merupakan regulator utama bagi perilaku sosial yang telah berevolusi dan bertahan sejak zaman purba.
Penemuan ini, yang dipublikasikan dalam edisi terbaru jurnal Animal Behaviour, membantu menjawab pertanyaan evolusioner yang penting: mengapa beberapa spesies mengembangkan perilaku sosial yang kompleks sementara spesies lainnya lebih banyak menghabiskan waktunya sendirian?
“Kita tahu bagaimana hormon ini berefek pada manusia,” kata Adam Reddon, pemimpin riset dan lulusan Departemen Psikologi, Ilmu Saraf & Perilaku Universitas McMaster. “Ini berkaitan dengan cinta, monogami, bahkan perilaku yang beresiko, namun belum begitu diketahui efeknya pada ikan.”
Secara khusus, para peneliti memeriksa ikan Neolamprologus pilcher, spesies sangat sosial yang ditemukan di Danau Tanganyika, Afrika.
Ikan-ikan ini tergolong tak biasa karena mereka membentuk kelompok-kelompok sosial permanen berdasarkan pasangan kawin yang dominan dan banyak yang membantu merawat anak-anak serta mempertahankan kawasan mereka.
Untuk melakukan percobaan, para peneliti menyuntikkan isotosin pada ikan — oksitosin “versi ikan” — atau mengontrol larutan garam.
Saat ditempatkan di kawasan persaingan dengan rival, ikan ini menjadi lebih agresif terhadap musuh yang lebih besar. Namun saat ditempatkan pada kelompok besar, ikan ini menjadi lebih patuh saat menghadapi agresi dari anggota kelompok yang lebih dominan. Sinyal ini penting bagi spesies tersebut karena menenangkan anggota dominan dalam sebuah kelompok, kata para peneliti.
“Hormon ini meningkatkan kemampuan respon terhadap informasi sosial dan bisa berlaku sebagai suatu ikatan sosial yang penting,” kata Reddon, “Ini memastikan ikan untuk menangani konflik dengan baik dan mempertahankan kekompakan kelompok karena akan mengurangi dan mempersingkat perkelahian yang merugikan.”
“Kami sudah tahu bahwa kelas neuropeptida ini merupakan kelas purba dan ditemukan pada hampir semua kelompok vertebrata,” kata Sigal Balshine, seorang profesor di Departemen Psikologi, Ilmu Saraf & Perilaku. “Hal yang khususnya menarik adalah dukungan temuan ini pada gagasan bahwa fungsi hormon ini, yaitu sebagai modulator perilaku sosial, juga telah dilestarikan.”
Kredit: Universitas McMaster
Jurnal: Adam R. Reddon, Constance M. O’Connor, Susan E. Marsh-Rollo, Sigal Balshine. Effects of isotocin on social responses in a cooperatively breeding fish. Animal Behaviour, 2012; 84 (4): 753 DOI: 10.1016/j.anbehav.2012.07.021

Ikan Spesies Baru , Ikan Obama

 Ikan Spesies Baru, Ikan Obama
TENNESSEE, KOMPAS.com - Spesies baru biasanya dinamai berdasarkan keunikan, nama penemu ataupun lokasi penemuannya. Tapi, spesies ikan baru yang ditemukan di Amerika Serikat dinamai dengan cara berbeda. Spesies baru ikan ini "terhormat", dinamai dengan nama Barack Obama.

Lengkapnya, nama spesies ikan baru tersebut adalah Etheostoma obama. Ikan ini merupakan jenis endemik sungai Duck dan Buffalo di Tennessee. Berdasarkan taksonominya, ikan ini masuk golongan ikan darter (anak panah), golongan ikan yang mampu melesat cepat di perairan.

"Kami memilih presiden Obama karena kepemimpinannya dalam bidang lingkungan, terutama soal energi dan perlindungan lingkungan dan dia salah satu presiden pertama yang menggunakan konservasi dan perlindungan lingkungan sebagai visi global," kata Layman seperti dikutip Scientific American, Jumat (30/11/2012).

Steve Layman dari Geosyntec Consultants di Kennesaw, Georgia dan Rick Mayden dari Saint Louis University di Missouri menemukan spesies ikan ini setelah menganalisis spesies ikan Etheostoma stigmaeum, yang ternyata  spesies kompleks dan sebenarnya bisa dibagi menjadi 9 spesies.

E. obama disebut pula darter warna warni karena kenampakannya yang indah. Ikan ini didominasi warna oranye yang terang dan bintik biru. Pejantan ikan ini bisa berukuran 4,8 cm sementara betinanya memilberukuran 4,3 cm.

Selain ikan obama, peneliti juga menemukan empat jenis ikan lainnya yang dinamai berdasarkan nama presiden dan wakil presiden Amerika Serikat. Spesies ikan tersebut adalah Etheostoma gore (dari nama Al Gore), Etheostoma jimmycarter (dari nama Jimmy Carter), Etheostoma teddyroosevelt (dari nama Theodore Rosevelt) dan Etheostoma clinton (dari nama Bill Clinton).
Sumber :
 
 
Penulis : Yunanto Wiji Utomo | Minggu, 2 Desember 2012 | 16:57 WIB

Ilmuwan Mengontrol Bentuk Materi dalam Terapi Nanopartikel DNA

Senin, 15 Oktober 2012 - "Partikel berbentuk cacing menghasilkan ekspresi gen dalam sel-sel hati 1.600 kali lebih banyak dibanding yang dihasilkan dua bentuk lainnya."

Para peneliti dari Universitas Johns Hopkins dan Northwestern telah menemukan cara untuk mengontrol bentuk nanopartikel yang berfungsi memindahkan DNA dalam tubuh, serta menunjukkan bahwa bentuk-bentuk penghantar ini bisa membuat perbedaan besar dalam hal pengobatan kanker dan berbagai penyakit lainnya.
Studi yang dipublikasikan pada 12 Oktober dalam jurnal Advanced Materials ini juga patut menjadi perhatian karena teknik terapi gen ini tidak harus memanfaatkan virus untuk menghantarkan DNA ke dalam sel. Beberapa upaya terapi gen yang bergantung pada virus mengandung berbagai resiko kesehatan.
“Nanopartikel ini bisa menjadi kendara penghantar yang lebih aman dan efektif untuk terapi gen, menargetkan berbagai penyakit genetik, kanker serta penyakit-penyakit lain yang bisa disembuhkan dengan pengobatan gen,” kata Hai-Quan Mao, profesor ilmu dan teknik material di Sekolah Teknik Whiting Johns Hopkins.
Mao telah mengembangkan nanopartikel nonviral untuk terapi gen selama satu dekade. Pendekatannya melibatkan pengkompresian potongan-potongan DNA yang sehat dalam lapisan polimer pelindung. Partikel-partikel ini dirancang untuk menghantarkan muatan genetiknya hanya setelah partikel ini bergerak melewati aliran darah dan memasuki sel-sel yang menjadi sasaran. Dalam sel-sel tersebut, polimer mengurangi dan melepaskan DNA. Dengan menggunakan DNA ini sebagai pola dasar, maka sel-sel tersebut dapat memproduksi protein fungsional yang mampu memerangi penyakit.

Ilustrasi ini menggambarkan molekul-molekul DNA (hijau muda), dikemas ke dalam nanopartikel dengan menggunakan polimer dalam dua segmen yang berbeda. Satu segmennya (hijau gelap) membawa muatan positif yang mengikatnya pada DNA, dan segmen lainnya (cokelat) membentuk lapisan pelindung pada permukaan partikel. Dengan menyesuaikan pelarut yang mengelilingi molekul-molekul ini, para peneliti Johns Hopkins dan Northwestern mampu mengontrol bentuk nanopartikel. Tes hewan yang dilakukan tim riset menunjukkan bahwa bentuk nanopartikel secara dramatis dapat mempengaruhi seberapa efektif penghantaran terapi gen ke dalam sel. Gambar pada latar depan, meskipun diperoleh dari model komputasi, nyaris sesuai dengan gambar latar belakang abu-abu, yang dikumpulkan melalui mikroskop elektron transmisi. (Kredit: Wei Qu, Universitas Northwestern, gambar simulasi; Xuan Jiang, Universitas Johns Hopkins, gambar mikroskopis)
Sebuah kemajuan besar dalam pekerjaan ini adalah kemampuan para peneliti “menyetel” partikel-partikel dalam tiga bentuk; batang, cacing serta bulatan, yang meniru bentuk dan ukuran partikel-partikel virus. “Kami bisa mengamati bentuk-bentuk itu dalam laboratorium, tapi kami tidak sepenuhnya memahami mengapa mereka mengasumsikan bentuk-bentuk itu dan bagaimana cara mengontrol prosesnya dengan baik,” kata Mao. Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena sistem pengiriman DNA yang ia bayangkan mungkin memerlukan bentuk-bentuk spesifik yang seragam.
Untuk mengatasi masalah ini, sekitar tiga tahun lalu Mao mencari bantuan dari rekan-rekannya di Northwestern. Sementara Mao bekerja di laboratorium tradisionalnya yang serba basah, para peneliti di Northwestern merupakan pakar dalam melakukan eksperimen serupa dengan menggunakan model komputer yang canggih.
Erik Luijten, profesor ilmu dan teknik material serta matematika terapan di Sekolah Teknik dan Ilmu Terapan McCormick Universitas Northwestern dan sebagai penulis pendamping dalam makalah, memimpin analisis komputasi pada temuan-temuan tersebut untuk menentukan mengapa nanopartikel diformasikan ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
“Simulasi komputer dan model teoritis kami telah memberi pemahaman mekanistik, mengidentifikasi apa yang bertanggung jawab atas perubahan bentuk tersebut,” kata Luijten. “Kami kini dapat memprediksi secara tepat bagaimana memilih komponen nanopartikel jika ada yang mengingini bentuk tertentu.”
Penggunaan model komputer memungkinkan tim Luijten untuk meniru percobaan laboratorium tradisional dalam waktu yang jauh lebih cepat. Simulasi dinamika molekul ini dilakukan pada Quest, sistem komputasi berkinerja tinggi dari Northwestern. Komputasi ini begitu rumit sehingga beberapa di antaranya memerlukan 96 prosesor komputer yang bekerja secara bersamaan dalam satu bulan.
Dalam makalah mereka, para peneliti juga ingin menunjukkan pentingnya bentuk partikel dalam menghantarkan terapi gen. Para anggota tim riset melakukan tesnya pada hewan, kesemuanya menggunakan bahan partikel yang sama dan DNA yang sama. Satu-satunya perbedaan adalah pada bentuk partikel: batang, cacing dan bulatan.
“Partikel berbentuk cacing menghasilkan ekspresi gen dalam sel-sel hati 1.600 kali lebih banyak dibanding yang dihasilkan dua bentuk lainnya,” kata Mao. “Artinya, produksi nanopartikel dalam bentuk ini bisa menjadi cara yang lebih efisien untuk menghantarkan terapi gen ke dalam sel-sel tersebut.”
Bentuk-bentuk partikel yang digunakan dalam penelitian ini diformasi lewat cara mengemas DNA dengan polimer dan mengeksposnya ke berbagai pengenceran pelarut organik. Penolakan DNA terhadap pelarut, dengan bantuan rancangan polimer dari tim riset, menyebabkan nanopartikel berkontraksi menjadi bentuk tertentu dengan sebuah “perisai” di seputar materi genetik untuk melindunginya dari penghapusan oleh sel-sel kekebalan.
Dana awal untuk penelitian ini berasal dari Institut NanoBioTeknologi Johns Hopkins. Riset kemitraan Johns Hopkins-Northwestern memperoleh dukungan pendanaan dari National Institutes of Health.

Kredit: Johns Hopkins
Jurnal: Xuan Jiang, Wei Qu, Deng Pan, Yong Ren, John-Michael Williford, Honggang Cui, Erik Luijten, Hai-Quan Mao. Plasmid-Templated Shape Control of Condensed DNA-Block Copolymer Nanoparticles. Advanced Materials, 2012; DOI: 10.1002/adma.201202932