Blogroll

Sandra Amalia

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 05 Desember 2012

Temuan Fosil-fosil Baru di Kenya Memberi Titik Terang Pada Evolusi Manusia Awal

Kamis, 4 Oktober 2012 - "Fosil-fosil baru ini akan sangat membantu dalam rangka mengurai bagaimana cabang evolusi manusia pertama kali muncul dan berkembang pada hampir dua juta tahun yang lalu."

Fosil-fosil yang ditemukan di Danau Turkana Afrika bagian selatan telah mengkonfirmasi adanya dua spesies tambahan dalam genus kita — Homo — yang hidup berdampingan dengan spesies nenek moyang kita, Homo erectus, hampir dua juta tahun yang lalu. Temuan ini, yang diumumkan dalam jurnal Nature, terdiri dari wajah, rahang bawah yang lengkap, serta bagian dari satu rahang bawah kedua.
Fosil-fosil ini ditemukan antara tahun 2007 dan 2009 oleh Koobi Fora Research Project (KFRP), di bawah pimpinan Meave dan Louise Leakey. Profesor antropologi Universitas New York, Susan Antón, salah satu anggota tim riset tersebut, mengambil bagian dalam upaya membandingkan fosil-fosil ini dengan temuan-temuan yang sebelumnya.
“Fosil-fosil baru ini memberi ujian besar pada hipotesis awal tentang bagaimana pemisahan Homo telah tercatat sebelumnya, namun, yang lebih penting lagi, fosil-fosil ini menunjukkan gagasan tentang bagaimana spesies-spesies tersebut mungkin telah berbagi lingkungan — spesies-spesies itu tidak terpisah menjadi satu spesies besar dan satu spesies kecil; sebaliknya, fosil-fosil ini menunjukkan variasi ukuran yang luar biasa dalam tiap-tiap spesies, namun dengan anatomi wajah yang berbeda-beda.”
Wajah KNM-ER 6200, sebagaimana fosil ini awalnya ditemukan, dengan beberapa gigi yang terlihat pada permukaan batu (kiri), dan setelah lapisan batu disingkirkan oleh Christopher Kiarie untuk menyingkap langit-langit mulutnya (kanan). (Kredit: Fred Spoor – NMK)
Sisi kiri rahang bawah KNM-ER 60000, setelah diperbaiki oleh Christopher Kiarie. (Kredit: Fred Spoor – NMK)
Empat dekade yang lalu, KFRP menemukan fosil misterius yang dikenal sebagai KNM-ER 1470 (atau singkatnya “1470″). Tengkorak ini, yang dibedakan berdasarkan ukuran besar otaknya dan wajar datar yang panjang, menyulut perdebatan panjang tentang berapa banyak spesies lain yang hidup berdampingan dengan Homo erectus selama zaman Pleistosen, yang rentangnya dari 2,6 juta tahun hingga 11.700 tahun yang lalu. Morfologi 1470 yang unik telah dikarakteristikkan oleh beberapa ilmuwan untuk perbedaan seksual dan tingkat variasi yang alami dalam satu spesies, sedangkan ilmuwan lainnya menafsirkan fosil itu sebagai bukti dari suatu spesies yang terpisah.
Dilema panjang ini bertahan karena dua alasan. Pertama, perbandingannya dengan fosil-fosil lain sangat terbatas karena tidak adanya gigi atau rahang bawah yang tersisa dari 1470. Kedua, tidak adanya tulang fosil lain yang menyerupai bentuk wajah 1470 yang panjang dan datar; hal ini meninggalkan keraguan betapa tipikalnya karakteristik ini. Dan pada akhirnya, fosil-fosil yang baru saja ditemukan mengatasi kedua isu tersebut.
Paleontolog Meave dan Fred Spoor tengah mengumpulkan fosil-fosil di dekat lokasi ditemukannya wajah KNM-ER 62000. (Kredit: Mike Hetter – National Geographic)
“Selama 40 tahun kami telah melakukan pencarian panjang dan melelahkan di bentangan sedimen yang luas di sekitar Danau Turkana untuk menemukan fosil-fosil yang bisa mengkonfirmasikan fitur unik pada wajah 1470 dan yang bisa menunjukkan pada kita seperti apa rupa gigi dan rahang bawahnya,” kata Meave Leakey, rekan pimpinan KFRP dan seorang Penjelajah-Residen National Geographic. “Akhirnya kami memiliki beberapa jawaban.”
“Setelah digabung, tiga fosil baru ini memberi gambaran yang jauh lebih jelas tentang bagaimana rupa 1470,” tambah Fred Spoor, yang memimpin analisis ilmiah.” Sebagai hasilnya, kini jelas bahwa dua spesies Homo awal hidup berdampingan dengan Homo erectus. Fosil-fosil baru ini akan sangat membantu dalam rangka mengurai bagaimana cabang evolusi manusia pertama kali muncul dan berkembang pada hampir dua juta tahun yang lalu.”
Penjelajah-Residen National Geographic Louise Leakey (kiri) bersama Meave Leakey tengah melakukan pencarian di tanjakan tempat KNM-ER 60000 pernah ditemukan, sedangkan di bagian belakang, para anggota kru lapangan tengah menyisir permukaan sedimen, berharap menemukan fragmen-fragmen tambahan dari fosil tersebut (Kredit: Mike Hettwer – National Geographic)
Ditemukan dalam radius lebih dari 10 kilometer dari lokasi ditemukannya 1470, tiga fosil baru ini berusia antara 1,78 juta dan 1,95 juta tahun. Wajah KNM-ER 62000, yang ditemukan pada tahun 2008 ini, sangat mirip dengan wajah 1470. Terlebih lagi, rahang atas pada wajahnya masih meninggalkan hampir semua gigi pipinya, yang untuk pertama kalinya bisa memungkinkan untuk menyimpulkan jenis rahang bawah yang pernah dimiliki 1470. Kecocokan khususnya dapat ditemukan pada dua fosil baru lainnya, rahang bawah KNM-ER 60000, yang ditemukan di tahun 2009, dan bagian rahang bawah lainnya, KNM-ER 62003, yang ditemukan di tahun 2007. KNP-ER 60000 tetap menjadi rahang bawang paling lengkap yang pernah ditemukan dari semua anggota awal genus Homo.


Kredit: Universitas New York
Jurnal: Meave G. Leakey, Fred Spoor, M. Christopher Dean, Craig S. Feibel, Susan C. Antón, Christopher Kiarie, Louise N. Leakey. New fossils from Koobi Fora in northern Kenya confirm taxonomic diversity in early Homo. Nature; 488, 201–204, 09 August 2012; DOI: 10.1038/nature11322
http://www.faktailmiah.com

Otak Selama Tidur Berperilaku Mengingat

Selasa, 9 Oktober 2012 - "Neuron-neuron entorhinal menunjukkan aktivitas persisten, berperilaku layaknya mereka mengingat sesuatu sekalipun di bawah pengaruh anestesi saat tikus tak bisa merasakan atau membaui atau mendengar apapun."

Para peneliti dari Universitas California, Los Angeles (UCLA) untuk pertama kalinya mengukur aktivitas suatu area dalam otak yang sedang tertidur, yaitu area yang terlibat dalam pembelajaran, memori dan penyakit Alzheimer. Mereka menemukan bahwa bagian otak ini berprilaku layaknya sedang mengingat sesuatu, bahkan di bawah pengaruh anestesi; sebuah temuan yang bertentangan dengan teori-teori sebelumnya tentang konsolidasi memori selama tidur.
Tim riset secara simultan mengukur aktivitas neuron-neuron tunggal dari beberapa bagian otak yang terlibat dalam pembetukan memori. Teknik ini memungkinkan mereka menentukan bagian otak mana yang mengaktifkan area-area otak lainnya dan bagaimana aktivasi tersebut menyebar, kata penulis senior studi Mayank R. Mehta, profesor neurofisika di departemen neurologi, neurobiologi, fisika dan astronomi UCLA.
Secara khusus, Mehta bersama timnya mengamati tiga area terkoneksi dalam otak tikus, yaitu otak baru atau neokorteks, otak tua atau hippocampus, dan otak perantara yang menghubungkan otak baru dan tua. Dalam studi sebelumnya telah ditunjukkan bahwa dialog antara otak tua dan otak baru selama tidur merupakan hal penting bagi pembentukan memori, namun studi tersebut tidak menyelidiki kontribusi dari korteks entorhinal dalam dialog tersebut, yang berubah menjadi pengganti permainan, kata Mehta. Tim risetnya menemukan bahwa korteks entorhinal menunjukkan apa yang disebut sebagai aktivitas persisten, yang diduga memediasi pengerjaan memori selama dalam kondisi sadar, misalnya saat seseorang berusaha mengingat sesuatu, seperti nomor telepon atau arah jalan.
“Kejutan besarnya, jenis aktivitas persisten ini terjadi selama tidur, hampir sepanjang waktu,” kata Mehta. “Hasil studi ini secara keseluruhan masih baru dan mengejutkan. Faktanya, aktivitas persisten mirip-pengerjaan memori ini terjadi pada korteks entorhinal sekalipun di bawah pengaruh anestesi.”
Studi ini muncul dalam edisi online jurnal Nature Neuroscience.
Temuan ini sangat penting karena sepertiga hidup manusia diisi dengan tidur, dan kekurangan tidur bisa menghasilkan dampak yang merugikan bagi kesehatan, termasuk kesulitan dalam hal pembelajaran dan memori.
Sebelumnya pernah ditunjukkan bahwa neokorteks dan hippocampus saling “berkomunikasi” satu sama lain, dan diyakini komunikasi ini berperan penting dalam membangun memori, atau disebut konsolidasi memori. Namun, tak ada yang mampu mengeinterpretasi pembicaraan tersebut.
“Saat Anda bersiap tidur, Anda bisa membuat kamar menjadi gelap dan sunyi, dan meskipun tak ada masukan indrawi, otak tetap sangat aktif,” kata Mehta. “Kami ingin tahu kenapa itu bisa terjadi dan bagian-bagian mana saja dalam otak yang saling berkomunikasi satu sama lain.”
Mehta beserta timnya mengembangkan sistem monitor yang sangat sensitif, yang memungkinkan mereka mengikuti aktivitas-aktivitas neuron dari masing-masing tiga bagian otak tersebut secara simultan, termasuk aktivitas sebuah neuron tunggal. Hal ini memungkinkan para peneliti mengurai secara tepat komunikasi-komunikasi yang terjadi, sekalipun neuron-neuron tersebut tampak tenang. Kemudian mereka mengembangkan analisis matematis canggih untuk mengurai komunikasi yang kompleks.
Selama tidur, neokorteks surut menjadi pola gelombang yang lambat sekitar 90 persen pada waktu itu. Selama periode tersebut, ativitasnya berfluktuasi pelan antara keadaan aktif dan tidak aktif tiap detiknya. Mehta beserta timnya berfokus pada korteks entorhinal, yang memiliki banyak bagian.
Bagian luar korteks entorhinal merefleksikan aktivitas neokortikal. Namun bagian dalamnya berperilaku berbeda. Saat neokorteks menjadi non-aktif, neuron-neuron pada bagian dalam korteks entorhinal bertahan dalam keadaan aktif, sama halnya di kala mereka mengingat sesuatu yang baru saja “dikatakan” neokorteks, sebuah fenomena yang disebut sebagai aktivitas persisten spontanitas. Selanjutnya, para peneliti menemukan bahwa ketika bagian dalam korteks entorhinal spontan menjadi persisten, ia mendorong neuron hippocampus menjadi sangat aktif. Di lain sisi, saat neokorteks menjadi aktif, hippocampus menjadi lebih tenang. Data ini menghadirkan interpretasi yang jelas tentang komunikasi tersebut.
“Selama tidur, ketiga bagian otak itu saling berkomunikasi satu sama lain dalam cara yang sangat kompleks,” katanya. “Neuron-neuron entorhinal menunjukkan aktivitas persisten, berperilaku layaknya mereka mengingat sesuatu sekalipun di bawah pengaruh anestesi saat tikus tak bisa merasakan atau membaui atau mendengar apapun. Luar biasanya, aktivitas persisten ini terkadang bertahan lebih dari satu menit, suatu skala waktu yang besar dalam aktivitas otak, yang umumnya berubah dalam skala per seribu perdetik.
Temuan ini menantang teori-teori komunikasi otak selama tidur, yang menyatakan bahwa hippocampus-lah yang mengkomunikasikan, atau mendorong, neokorteks. Temuan Mehta ini setidaknya mengindikasikan adanya aktor ketiga dalam dialog yang kompleks tersebut, yaitu korteks entorhinal, yang berperilaku seperti halnya mengingat sesuatu. Korterks tersebut, pada gilirannya, mendorong hippocampus selagi pola-pola aktivitas lain membuatnya tidak aktif.
“Ini merupakan cara yang sama sekali baru dalam memikirkan teori konsolidasi memori. Kami menemukan adanya pemeran baru dalam proses tersebut dan hal itu berdampak sangat besar,” kata Mehta. “Dan apa yang dilakukan pemain ketiga ini adalah karena didorong oleh neokorteks, bukan hippocampus. Hal ini menunjukkan bahwa apapun yang terjadi selama tidur tidak ada yang terjadi seperti yang kita duga sebelumnya. Ada pemain lagi yang terlibat sehingga dialog menjadi jauh lebih kompleks, dan arah komunikasi ini bertentangan dengan apa yang sudah kita pikirkan.”
Mehta berteori bahwa proses ini terjadi selama tidur sebagai cara untuk merapikan memori dan menghapus informasi tak penting yang diproses selama seharian. Hal ini menghasilkan memori-memori penting yang bisa terakses secara lebih mudah dan menonjol. Sebagai catatan, penyakit Alzheimer dimulai di dalam korteks entorhinal dan pasien mengalami masalah tidur. Jadi, temuan Mehta ini memiliki implikasi dalam arena tersebut.
“Hasil studi ini menyajikan bukti langsung pertama bagi aktivitas persisten pada neuron-neuron lapisan korteks entorhinal medial secara in vivo, serta mengungkap kontribusinya terhadap interaksi cortico-hippocampal, yang bisa terlibat dalam pengerjaan memori dan pembelajaran pada urutan panjang tingkah laku selama berperilaku, serta konsolidasi memori selama tidur,” demikian pernyataan dalam studi ini.
Studi ini didanai oleh Yayasan Whitefall, Institut Kesehatan Nasional, National Science Foundation, Yayasan W.M. Keck, Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman serta Max Planck Society.

Kredit: Universitas California, Los Angeles (UCLA), Health Sciences
Jurnal: Thomas T G Hahn, James M McFarland, Sven Berberich, Bert Sakmann, Mayank R Mehta. Spontaneous persistent activity in entorhinal cortex modulates cortico-hippocampal interaction in vivo. Nature Neuroscience, 07 October 2012; DOI: 10.1038/nn.3236
http://www.faktailmiah.com/2012/10/09/otak-selama-tidur-berperilaku-mengingat.html

Belajar Bahasa Asing Membuat Otak Bertumbuh

Selasa, 9 Oktober 2012 - Bagian-bagian otak yang mengalami pertambahan ukuran adalah hippocampus serta tiga area di dalam korteks cerebral.

Di Akademi Interpreter Angkatan Bersenjata Swedia, para rekrutan muda mempelajari bahasa baru dalam waktu yang sangat cepat. Dengan mengukur otak mereka sebelum dan sesudah pelatihan bahasa, sekelompok peneliti memiliki peluang yang hampir unik untuk mengamati apa yang terjadi pada otak ketika kita mempelajari bahasa baru dalam waktu singkat.
Pada Akademi Interpreter Angkatan Bersenjata Swedia di kota Uppsala, para pemuda yang berbakat dalam hal bahasa berawal dari ketidakmampuan berbahasa asing, seperti bahasa Arab, Rusia atau Dari, hingga menjadi lancar berbahasa asing hanya dalam jangka waktu 13 bulan. Dari pagi hingga sore, berhari-hari dan berminggu-minggu, para rekrutan ini belajar pada tingkat kecepatan yang tidak terdapat di tempat kursus lainnya.
Para peneliti menggunakan para mahasiswa di bidang kedokteran dan ilmu kognisi dari Universitas Umeå sebagai kelompok kontrol; para mahasiswa ini yang juga belajar keras tapi bukan mempelajari bahasa asing. Kedua kelompok, kontrol maupun bahasa, kemudian diberikan pemindaian MRI sebelum dan sesudah masa belajar selama tiga periode.
Hasilnya, struktur otak pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan, sedangkan bagian otak tertentu pada kelompok bahasa justru mengalami pertumbuhan. Bagian-bagian otak yang mengalami pertambahan ukuran adalah hippocampus — sebuah struktur di kedalaman otak yang terlibat dalam pembelajaran materi baru dan navigasi spasial — serta tiga area di dalam korteks cerebral.
“Kami terkejut bahwa bagian-bagian otak yang berbeda berkembang ke dalam derajat yang berbeda tergantung pada seberapa baik siswa menjalaninya dan seberapa besar upaya yang dilakukan dalam mengikuti kursus,” kata Johan Mårtensson, seorang peneliti psikologi asal Universitas Lund, Swedia.
Para siswa yang mengalami pertumbuhan lebih besar pada hippocampus dan area-area korteks cerebral, terkait dengan pembelajaran bahasa (girus temporal superior), selanjutnya memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik dibanding siswa lainnya. Pada siswa ini mengalami pertumbuhan pada wilayah motor korteks cerebral (girus frontal tengah), dan pada waktu selanjutnya memberi kemudahan bagi mereka dalam mempelajari bahasa serta berbagai pengembangan sesuai dengan kinerjanya.
“Sekalipun kami tidak bisa membandingkan studi bahasa intensif selama tiga bulan ini dengan menjadi bilingual dalam seumur hidup, ada banyak hal yang menunjukkan bahwa belajar bahasa asing merupakan cara yang baik dalam mempertahankan bentuk otak,” kata Mårtensson.

Kredit: Universitas Lund
Jurnal: Johan Mårtensson, Johan Eriksson, Nils Christian Bodammer, Magnus Lindgren, Mikael Johansson, Lars Nyberg, Martin Lövdén. Growth of language-related brain areas after foreign language learning. NeuroImage, 2012; 63 (1): 240 DOI: 10.1016/j.neuroimage.2012.06.043
http://www.faktailmiah.com/2012/10/09/belajar-bahasa-asing-membuat-otak-bertumbuh.html

Serangga Menjadi Pendorong Utama Evolusi dan Keragaman Tanaman

Jumat, 5 Oktober 2012 - "Kelimpahan dan daya saing populasi tanaman mengalami perubahan. Evolusi dapat mengubah ekologi dan fungsi organisme serta keseluruhan ekosistem."

Riset terbaru dari Universitas Toronto Mississauga (UTM) mengenai dampak serangga terhadap populasi tanaman telah menunjukkan bahwa evolusi dapat terjadi lebih cepat dari perkiraan sebelumnya, bahkan dalam satu generasi. Studi ini dipublikasikan dalam Science edisi 5 Oktober.
“Para ilmuwan telah lama berhipotesis bahwa interaksi antara tanaman dan serangga telah membawa begitu banyak keragaman yang bisa kita lihat di antara tanaman, termasuk tanaman pertanian, namun hingga sekarang kita masih memiliki keterbatasan bukti eksperimental langsung,” kata Marc Johnson, Asisten Profesor di Departemen Biologi UTM. “Riset ini mengisi celah mendasar pada pemahaman kita tentang bagaimana seleksi alam oleh serangga menyebabkan perubahan evolusioner pada tanaman sebagaimana mereka beradaptasi, serta menunjukkan betapa cepatnya perubahan-perubahan itu bisa terjadi di alam.”
Johnson bersama rekan-rekannya dari Universitas Cornell, Universitas Montana dan Universitas Turku di Finlandia, menanam evening primrose, suatu tanaman yang umumnya mereproduksi diri dan menghasilkan keturunan identik secara genetis, ke dalam dua set plot. Masing-masing plot awalnya berisi 60 tanaman dari 18 genotipe yang berbeda (tanaman yang mengandung set mutasi yang berbeda-beda).
Untuk menguji apakah serangga mendorong evolusi pertahanan tanaman tersebut, salah satu set plot disimpan bebas dari serangga dengan aplikasi insektisida dua mingguan secara teratur selama masa penelitian. Sedangkan set plot lainnya menerima serangga dalam tingkat yang alami.
Plot-plot tersebut dibiarkan bertumbuh tanpa gangguan lain selama lima tahun. Setiap tahun, Johnson beserta rekan-rekannya menghitung jumlah dan jenis tanaman yang memenuhi plot. Mereka juga menganalisis frekuensi perubahan genotipe evening primrose yang berbeda-beda serta sifat-sifat yang terkait dengan genotipe tersebut.
Seekor ulat ngengat evening primrose (Schinia florida) melahap tunas bunga evening primrose biasa (Oenothera biennis). Ngengat-ngengat ini secara eksklusif memakan bunga dan buah-buahan dari evening primrose dan dalam menanggapi seleksi alam yang diakibatkan oleh hal ini dan ngengat spesialis lainnya, populasi evening primrose di kemudian hari mengembangkan bunga serta memproduksi tingkat tinggi bahan kimia beracun yang disebut ellagitannins dalam buah-buahan mereka. Evolusi ini efektif mengurangi kerusakan organ reproduksi tanaman tersebut beserta keturunannya. (Kredit: Marc Johnson)
Johnson mengungkapkan bahwa evolusi, yang hanya merupakan perubahan frekuensi genotipe dari waktu ke waktu, diamati pada semua plot setelah hanya dalam satu generasi. Populasi tanaman mulai menyimpang secara signifikan dalam menanggapi serangan serangga dalam sedikitnya tiga hingga empat generasi. Misalnya, tanaman yang tidak dikenai insektisida mengalami peningkatan frekuensi genotipe yang terkait dengan tingkat bahan kimia beracun yang lebih tinggi dalam buah-buahan, yang membuat mereka terasa enak bagi benih ngengat predator. Tanaman yang berbunga belakangan, sehingga terhindar dari serangga predator, juga meningkat frekuensinya.
Johnson mengatakan temuan ini juga menunjukkan bahwa evolusi mungkin menjadi mekanisme penting yang menyebabkan perubahan ekosistem secara keseluruhan. “Sebagaimana populasi tanaman ini berevolusi, sifat mereka mengubah dan mempengaruhi interaksi mereka dengan serangga dan spesies tanaman lainnya, yang pada gilirannya dapat mengembangkan adaptasi untuk mengatasi perubahan tersebut,” kata Johnson. “Kelimpahan dan daya saing populasi tanaman mengalami perubahan. Evolusi dapat mengubah ekologi dan fungsi organisme serta keseluruhan ekosistem.”
Perubahan ekologis tambahan terjadi dalam plot ketika serangga sudah disingkirkan. Tanaman pesaing, seperti dandelion, memasuki kedua set plot tersebut namun lebih berlimpah pada plot tanpa serangga. Hal ini pada gilirannya mengurangi jumlah tanaman evening primrose. Dandelion yang lebih banyak menggunakan sumber dan juga berpotensi mencegah cahaya untuk mencapai benih evening primrose, mempengaruhi perkecambahan biji. Menurut Johnson, perubahan ekologis merupakan hasil dari tekanan dari ulat ngengat yang suka memakan dandelion.
“Apa yang ditunjukkan dalam penelitian ini adalah bahwa perubahan dalam populasi-populasi tanaman ini bukan hasil dari pergeseran genetik, melainkan secara langsung karena seleksi alam oleh serangga pada tanaman,” kata Johnson. “Hal ini juga menunjukkan seberapa cepat perubahan evolusioner dapat terjadi – tidak lebih dari ribuan tahun, tetapi selama bertahun-tahun, dan semuanya terjadi di sekitar kita.”
Kredit: Universitas Toronto
Jurnal: A. A. Agrawal, A. P. Hastings, M. T. J. Johnson, J. L. Maron, J.-P. Salminen. Insect Herbivores Drive Real-Time Ecological and Evolutionary Change in Plant Populations. Science, 2012; 338 (6103): 113 DOI: 10.1126/science.1225977
http://www.faktailmiah.com/2012/10/05/serangga-menjadi-pendorong-utama-evolusi-dan-keragaman-tanaman.html